Setiap atasan mempunyai ciri khas masing-masing. Mereka juga mempunyai cara kerja dan gaya memimpin yang saling berbeda. Kendati beragam, namun atas-atasan yang baik dan berhasil dalam arti efektif memimpin unit kerjanya mencapai tujuan-tujuan organisasional umumnya mempunyai beberapa karakteristik yang sama.
Salah satu sifat yang biasa ditemukan pada atasan yang berhasil adalah perhatiannya yang tinggi pada integritas pribadi, kejujuran, sikap yang fair, serta pada upaya untuk mengenal secara langsung lingkungannya, termasuk lingkungan kerjanya. Tak berarti bahwa mereka ingin bersahabat dengan karyawan atau bawahannnya, karena jarak memang selalu ada, tetapi ia juga tidak menutup pintu bagi dialog dengan mereka.
Pertukaran informasi, terutama bila menyangkut pekerjaan, berlangsung lancar dan timbal-balik antara dirinya sebagai atasan dengan anak buah. Sebaliknya, mereka menuntut dari bawahannya sikap loyal dan pola kerja yang produktif. Keberhasilan mereka justru lantaran tuntutan ini seringkali memang dipenuhi oleh bawahannya.
Apakah Anda ingin menjadi Atasan yang Baik..?
Sebagai atasan jelas mereka harus tegas dalam membuat keputusan dan berhubungan dengan orang lain. Namun mereka juga bisa (atau telah belajar untuk) fleksibel. Pengalaman mengajarkan pada mereka bahwa situasi-situasi pelik yang diatasi secara tegas akan mendapat respek dari anak buah, walau kadangkala ketegasan ini berakibat negatif bagi diri bawahan yang bersangkutan.
Dapat dikatakan pula bahwa atasan yang baik adalah mereka yang memiliki kualitas sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai manajer.
Sebagai pemimpin, sorot pandangan mereka adalah pada aktivitas perusahaan atau organisasi secara total; beda dengan manajer yang mungkin preoccupied dengan masalah-masalah teknis sektoral yang menyangkut unit kerja yang dibawahinya. Perbedaan lain, seorang manajer kerapkali terikat pada pedoman dan prinsip-prinsip teoritis yang diperolehnya dari buku sedang-kan seorang pemimpin lebih berani menguji gagasan-gagasan yang dikembangkannya sendiri berdasarkan pengamatannya terhadap lingkungan.
Itulah kira-kira beberapa karakteristik dasar yang umumnya melekat pada para atasan yang oleh banyak pihak dinilai berhasil. Telah teramat banyak literatur mengenai manajemen dan kepemimpinan yang, langsung atau tidak, menunjang uraian di atas. Kaum praktisi pun umumnya setuju mengenai unsur-unsur apa yang berperan dan membentuk seseorang menjadi pemimpin yang baik.
Dibentuk, Tidak Dilahirkan :
Kalangan praktisi ini yang kerapkali mengemukakan bahwa seorang atasan yang baik pada dasarnya dibentuk oleh lingkungan dan pengalamannya. Tidak ada individu yang secara genetis dilahirkan untuk mampu menjadi atasan yang baik. Tentunya faktor kepribadianjuga berperan di sini, tetapi sebatas sebagai unsur yang menunjang performans seseorang sebagai atasan. Kepribadian seseorang bukanlah faktor yang m-nentukan keberhasilannya sebagai atasan. Yang lebih berperan adalah justru kemampuannya dalam menangani masalah dan lingkungannya, hal yang tentunya diasah melalui pengalaman.
Pengalaman ini sendiri kiranya memperkaya kearifan (wisdom) dan kemampuan menilai (judgement) dalam menghadapi berbagai masalah.
Ada pula yang berpendapat bahwa menjadi atasan pada dasarnya adalah suatu “seni”.
Dalam konteks ini, maka inti dari peran sebagai atasan adalah untuk mengelola dan mempedulikan orang lain, terutama, tentunya, segenap bawahan. Memperhatikan bawahan tak berarti mengurusinya seperti layaknya pekerja sosial terhadap asuhannya. Yang dimaksud adalah menyadari bahwa unsur manusia dalam suatu usaha adalah faktor yang menentukan. Bagaimana mereka bereaksi terhadap kepemimpinan para atasan, patuh dan produktif atau antagonis dan destruktif, menentukan berhasil-tidaknya usaha tertentu.
Untuk menjadi atasan yang baik maka harus ada kesiapan untuk mampu bekerja jauh lebih keras daripada bawahannya yang dipimpin.
Memang terkadang, secara tidak sadar, ini dituntut oleh barisan karyawan, seolah-olah ingin melihat komitmen atasannya terhadap kemajuan perusahaan. Dengan menunjukkan kemampuannya untuk bekerja keras, bahkan lebih keras dari bawahannya, maka para atasan ini berhasil meraih rasa percaya dan respek karyawan yang dipimpinnya.
Memperoleh respek dari bawahan, kolega atau lingkungan sosial di sekitarnya tak berarti sang boss adalah orang yang disenang, Disenangi berarti populer, sedangkan atasan yang baik tak selalu harus populer; cukup bila dihormati dan disegani.
[eworld-indonesia]
Loyalitas dan Keterbukaan :
Keberhasilan seseorang sebagai atasan tergantung pula pada derajat loyalitas anak buahnya terhadap lembaga maupun dirinya.
Untuk menumbuhkan rasa loyal ini tentunya mengandalkan terpenuhinya sejumlah syarat minima menyangkut aspek imbalan, iklim kerja, perhatian terhadap jenjang karir maupun kesejahteraan karyawan, dan penghargaan secara umum terhadap kehadiran sang karyawan sebagai faktor produktif dalam perusahaan.
Perlu diingat bahwa pemenuhan satu aspek tak bisa digantikan sepenuhnya oleh aspek lain.
Misalnya, jangan mengharap bahwa penghargaan yang memadai terhadap eksistensi karyawan atau keberhasilan memacu motivasi kerja mereka dapat mengganti tuntutan karyawan akan sistem imbalan yang wajar. Bagaimanapun, semua pekerja mengharapkan imbalan materi yang proporsional dengan kontribusinya kepada perusahaan. Ketidaksesuaian dalam hal ini dapat menimbulkan rasa tidak puas dan antipati yang bisa menghambat dan counter productive bagi kepentingan perusahaan secara umum.
Strategi menghindari kemelut seperti ini adalah dengan mengupayakan keterbukaan arus informasi antara atasan dengan bawahan. Para aatasan yang berhasil tampaknya secara naluri menyadari bahwa tugasnya bakal lebih lacar pelaksanaannya bila dari dirinya ada keterbukaan dengan bawahannya.
Sikap ini kiranya mengundangkan respon sejenis dari barisan yang dipimpinnya sehingga tumbuh iklim kerja orientasinya produktif dengan diwarnai rasa aman karyawan yang relatif tinggi. Selain itu, keterbukaan dalam tempat kerja memungkinkan pengidentifikasian masalah-masalah intern-organisasional secara dini, sehingga memungkinkan penanganan efektif oleh atasan.
Toh, sifat tangkas menyelesaikan masalah juga merupakan ciri atasan yang baik.
Loyalitas bawahan juga dapat tumbuh melalui keterbukaan yang konsisten oleh perusahaan di saat baik maupun buruk. Keterbukaan saat perusahaan sedang “lancar” usahanya berarti karyawan menjadi bagian dari keberhasilan itu, termasuk dalam segi perolehan mated. Sebaliknya, keterbukaan kala usaha sedang “seret” kerapkali menimbulkan pengertian akan kesulitan yang sedang dihadapi perusahaan.
Tak jarang pengertian ini memunculkan sikap sedia berkorban oleh karyawan karena mereka ingat akan perlakuan baik dari perusahaan sewaktu perusahaan sedang maju.
Ada kemungkinan bahwa justru sikap rela “berkorban” ini yang kelak menjadi topangan bagi proses pemulihan perusahaan. Tentunya ini suatu petunjuk loyalitas yang amat membesarkan hati atasan mana pun juga. Ini jelas lebih menarik ketimbang mendapati anak buah yang sepertinya siap hengkang pada ancaman pertama yang mengintai perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa atasan yang baik adalah atasan yang tak saja pandai memecahkan aneka masalah tetapi juga cakap dalam mencegah timbulnya masalah. Kecakapan ini tak pelak amat tergantung pada iklim kerja yang dibinanya di tempat kerja serta sikap yang ditunjukkan oleh bawahannya. Ketegasan dalam memimpin, sikap menghargai dan fair dalam menghadapi bawahan, serta terbuka dan koriiunikatif, merupakan hal-hal yang dapat memotivasi bawahan untuk lebih produktif. Loyalitas pun bakal tumbuh subur di atas dasar ini. Tergantung para atasan, sejauh mana uraian seperti ini bisa dite-rapkan di tempat kerja masing-masing.
KUNCI ATASAN YANG BAIK
Ingin jadi atasan yang lebih baik? Cobalah petunjuk berikut ini :
1. Tegas :
Atasan yang penuh ragu dalam menghadapi masalah membuat bawahannya menajadi cemas. Jangan menentang permasalahan tetapi cobalah mengatasinya. Beri petunjuk penugasan yang jelas. impulsive dalam keputusan. Dan selalu harus rasional, logis dan obyektif.
2. Tindak lanjut :
Ucapan harus dilanjutkan dengan tindak nyata. Instruksi harus diikuti secara konsisten oleh aksi lanjutan, apakah itu pemantauan, supervisi, ataupun pengendalian. Sebaliknya, jangan menjanjikan hal-hal yang tidak bisa dipenuhi. Itu hanya akan menurunkan “bobot” sebagai atasan di mata bawahannya maupun boss lain.
3. Jangan berlindung di balik kebijakan :
Keputusan-keputusan harus ada dasar rasionalnya.
Kalau sekedar mengatakan. “…..ini sudah menajdi kebijakan”, maka boleh jadi kebijakan itu patut dipertanyakan bila tidak mencerminkan kenyataan yang ada.
4. Kritik dan pujian harus proporsional :
Sebaiknya kritik tidak dilakukan di depan umum kecuali memang ada alasannya untuk demikian. Jangan pelit dengan pujian bila ada bawahan yang memang patut memperolehnya.
5. Partisipatoris :
Jangan melahirkan keputusan tanpa konsultasi atau melibatkan orang lain. Dukungan hanya bisa diperoleh bila ada pihak-pihak lain yang terlibat dan dilibatkan.
6. Jangan berlebih ( Jangan Lebai ) :
Jangan membuat jarak dengan bawahan melalui penciptaan perangkat-perangkat yang menonjolkan status sebagai atasan. Kewibawaan toh tidak diperoleh dari situ. Atasan akan lebih efektif (baca : baik) bila bawahannya mempersepsikan sang atasan sebagai orang yang memikirkan dan memperjuangkan kepentingan bawahan juga.
Dalam hal ini menjadi Atasan ada berbagai macam cara :
1. Instant ;
Karena memang dibutuhkan seorang atasan dan anda masuk ke posisi atau lingkungan tersebut secara instant karena melamar pekerjaan tersebut.
2. Referensi ;
Anda mempunyai rekan kerja dalam satu kantor atau lain dalam hal ada koneksi dan dipandang oleh mereka anda mampu. Maka anda direferensikan kantor atau tempat kerja yang lain untuk anda pimpin.
3. Promosi ;
Hal yang ketiga inilah yang paling hebat dimana kinerja kita di pandang baik sehingga dipromosikan menjadi seorang atasan, dalam lingkungan kerja tersebut.
Karena hal inilah yang menjadikan seorang pemimpin atau atasan yang menjadi sangat baik, dimana pernah mengalami sebagi seorang bawahan yang tentunya paham sekali seluk beluk kemelut bawahan.
Salah satu sifat yang biasa ditemukan pada atasan yang berhasil adalah perhatiannya yang tinggi pada integritas pribadi, kejujuran, sikap yang fair, serta pada upaya untuk mengenal secara langsung lingkungannya, termasuk lingkungan kerjanya. Tak berarti bahwa mereka ingin bersahabat dengan karyawan atau bawahannnya, karena jarak memang selalu ada, tetapi ia juga tidak menutup pintu bagi dialog dengan mereka.
Pertukaran informasi, terutama bila menyangkut pekerjaan, berlangsung lancar dan timbal-balik antara dirinya sebagai atasan dengan anak buah. Sebaliknya, mereka menuntut dari bawahannya sikap loyal dan pola kerja yang produktif. Keberhasilan mereka justru lantaran tuntutan ini seringkali memang dipenuhi oleh bawahannya.
Apakah Anda ingin menjadi Atasan yang Baik..?
Sebagai atasan jelas mereka harus tegas dalam membuat keputusan dan berhubungan dengan orang lain. Namun mereka juga bisa (atau telah belajar untuk) fleksibel. Pengalaman mengajarkan pada mereka bahwa situasi-situasi pelik yang diatasi secara tegas akan mendapat respek dari anak buah, walau kadangkala ketegasan ini berakibat negatif bagi diri bawahan yang bersangkutan.
Dapat dikatakan pula bahwa atasan yang baik adalah mereka yang memiliki kualitas sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai manajer.
Sebagai pemimpin, sorot pandangan mereka adalah pada aktivitas perusahaan atau organisasi secara total; beda dengan manajer yang mungkin preoccupied dengan masalah-masalah teknis sektoral yang menyangkut unit kerja yang dibawahinya. Perbedaan lain, seorang manajer kerapkali terikat pada pedoman dan prinsip-prinsip teoritis yang diperolehnya dari buku sedang-kan seorang pemimpin lebih berani menguji gagasan-gagasan yang dikembangkannya sendiri berdasarkan pengamatannya terhadap lingkungan.
Itulah kira-kira beberapa karakteristik dasar yang umumnya melekat pada para atasan yang oleh banyak pihak dinilai berhasil. Telah teramat banyak literatur mengenai manajemen dan kepemimpinan yang, langsung atau tidak, menunjang uraian di atas. Kaum praktisi pun umumnya setuju mengenai unsur-unsur apa yang berperan dan membentuk seseorang menjadi pemimpin yang baik.
Dibentuk, Tidak Dilahirkan :
Kalangan praktisi ini yang kerapkali mengemukakan bahwa seorang atasan yang baik pada dasarnya dibentuk oleh lingkungan dan pengalamannya. Tidak ada individu yang secara genetis dilahirkan untuk mampu menjadi atasan yang baik. Tentunya faktor kepribadianjuga berperan di sini, tetapi sebatas sebagai unsur yang menunjang performans seseorang sebagai atasan. Kepribadian seseorang bukanlah faktor yang m-nentukan keberhasilannya sebagai atasan. Yang lebih berperan adalah justru kemampuannya dalam menangani masalah dan lingkungannya, hal yang tentunya diasah melalui pengalaman.
Pengalaman ini sendiri kiranya memperkaya kearifan (wisdom) dan kemampuan menilai (judgement) dalam menghadapi berbagai masalah.
Ada pula yang berpendapat bahwa menjadi atasan pada dasarnya adalah suatu “seni”.
Dalam konteks ini, maka inti dari peran sebagai atasan adalah untuk mengelola dan mempedulikan orang lain, terutama, tentunya, segenap bawahan. Memperhatikan bawahan tak berarti mengurusinya seperti layaknya pekerja sosial terhadap asuhannya. Yang dimaksud adalah menyadari bahwa unsur manusia dalam suatu usaha adalah faktor yang menentukan. Bagaimana mereka bereaksi terhadap kepemimpinan para atasan, patuh dan produktif atau antagonis dan destruktif, menentukan berhasil-tidaknya usaha tertentu.
Untuk menjadi atasan yang baik maka harus ada kesiapan untuk mampu bekerja jauh lebih keras daripada bawahannya yang dipimpin.
Memang terkadang, secara tidak sadar, ini dituntut oleh barisan karyawan, seolah-olah ingin melihat komitmen atasannya terhadap kemajuan perusahaan. Dengan menunjukkan kemampuannya untuk bekerja keras, bahkan lebih keras dari bawahannya, maka para atasan ini berhasil meraih rasa percaya dan respek karyawan yang dipimpinnya.
Memperoleh respek dari bawahan, kolega atau lingkungan sosial di sekitarnya tak berarti sang boss adalah orang yang disenang, Disenangi berarti populer, sedangkan atasan yang baik tak selalu harus populer; cukup bila dihormati dan disegani.
[eworld-indonesia]
Loyalitas dan Keterbukaan :
Keberhasilan seseorang sebagai atasan tergantung pula pada derajat loyalitas anak buahnya terhadap lembaga maupun dirinya.
Untuk menumbuhkan rasa loyal ini tentunya mengandalkan terpenuhinya sejumlah syarat minima menyangkut aspek imbalan, iklim kerja, perhatian terhadap jenjang karir maupun kesejahteraan karyawan, dan penghargaan secara umum terhadap kehadiran sang karyawan sebagai faktor produktif dalam perusahaan.
Perlu diingat bahwa pemenuhan satu aspek tak bisa digantikan sepenuhnya oleh aspek lain.
Misalnya, jangan mengharap bahwa penghargaan yang memadai terhadap eksistensi karyawan atau keberhasilan memacu motivasi kerja mereka dapat mengganti tuntutan karyawan akan sistem imbalan yang wajar. Bagaimanapun, semua pekerja mengharapkan imbalan materi yang proporsional dengan kontribusinya kepada perusahaan. Ketidaksesuaian dalam hal ini dapat menimbulkan rasa tidak puas dan antipati yang bisa menghambat dan counter productive bagi kepentingan perusahaan secara umum.
Strategi menghindari kemelut seperti ini adalah dengan mengupayakan keterbukaan arus informasi antara atasan dengan bawahan. Para aatasan yang berhasil tampaknya secara naluri menyadari bahwa tugasnya bakal lebih lacar pelaksanaannya bila dari dirinya ada keterbukaan dengan bawahannya.
Sikap ini kiranya mengundangkan respon sejenis dari barisan yang dipimpinnya sehingga tumbuh iklim kerja orientasinya produktif dengan diwarnai rasa aman karyawan yang relatif tinggi. Selain itu, keterbukaan dalam tempat kerja memungkinkan pengidentifikasian masalah-masalah intern-organisasional secara dini, sehingga memungkinkan penanganan efektif oleh atasan.
Toh, sifat tangkas menyelesaikan masalah juga merupakan ciri atasan yang baik.
Loyalitas bawahan juga dapat tumbuh melalui keterbukaan yang konsisten oleh perusahaan di saat baik maupun buruk. Keterbukaan saat perusahaan sedang “lancar” usahanya berarti karyawan menjadi bagian dari keberhasilan itu, termasuk dalam segi perolehan mated. Sebaliknya, keterbukaan kala usaha sedang “seret” kerapkali menimbulkan pengertian akan kesulitan yang sedang dihadapi perusahaan.
Tak jarang pengertian ini memunculkan sikap sedia berkorban oleh karyawan karena mereka ingat akan perlakuan baik dari perusahaan sewaktu perusahaan sedang maju.
Ada kemungkinan bahwa justru sikap rela “berkorban” ini yang kelak menjadi topangan bagi proses pemulihan perusahaan. Tentunya ini suatu petunjuk loyalitas yang amat membesarkan hati atasan mana pun juga. Ini jelas lebih menarik ketimbang mendapati anak buah yang sepertinya siap hengkang pada ancaman pertama yang mengintai perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa atasan yang baik adalah atasan yang tak saja pandai memecahkan aneka masalah tetapi juga cakap dalam mencegah timbulnya masalah. Kecakapan ini tak pelak amat tergantung pada iklim kerja yang dibinanya di tempat kerja serta sikap yang ditunjukkan oleh bawahannya. Ketegasan dalam memimpin, sikap menghargai dan fair dalam menghadapi bawahan, serta terbuka dan koriiunikatif, merupakan hal-hal yang dapat memotivasi bawahan untuk lebih produktif. Loyalitas pun bakal tumbuh subur di atas dasar ini. Tergantung para atasan, sejauh mana uraian seperti ini bisa dite-rapkan di tempat kerja masing-masing.
KUNCI ATASAN YANG BAIK
Ingin jadi atasan yang lebih baik? Cobalah petunjuk berikut ini :
1. Tegas :
Atasan yang penuh ragu dalam menghadapi masalah membuat bawahannya menajadi cemas. Jangan menentang permasalahan tetapi cobalah mengatasinya. Beri petunjuk penugasan yang jelas. impulsive dalam keputusan. Dan selalu harus rasional, logis dan obyektif.
2. Tindak lanjut :
Ucapan harus dilanjutkan dengan tindak nyata. Instruksi harus diikuti secara konsisten oleh aksi lanjutan, apakah itu pemantauan, supervisi, ataupun pengendalian. Sebaliknya, jangan menjanjikan hal-hal yang tidak bisa dipenuhi. Itu hanya akan menurunkan “bobot” sebagai atasan di mata bawahannya maupun boss lain.
3. Jangan berlindung di balik kebijakan :
Keputusan-keputusan harus ada dasar rasionalnya.
Kalau sekedar mengatakan. “…..ini sudah menajdi kebijakan”, maka boleh jadi kebijakan itu patut dipertanyakan bila tidak mencerminkan kenyataan yang ada.
4. Kritik dan pujian harus proporsional :
Sebaiknya kritik tidak dilakukan di depan umum kecuali memang ada alasannya untuk demikian. Jangan pelit dengan pujian bila ada bawahan yang memang patut memperolehnya.
5. Partisipatoris :
Jangan melahirkan keputusan tanpa konsultasi atau melibatkan orang lain. Dukungan hanya bisa diperoleh bila ada pihak-pihak lain yang terlibat dan dilibatkan.
6. Jangan berlebih ( Jangan Lebai ) :
Jangan membuat jarak dengan bawahan melalui penciptaan perangkat-perangkat yang menonjolkan status sebagai atasan. Kewibawaan toh tidak diperoleh dari situ. Atasan akan lebih efektif (baca : baik) bila bawahannya mempersepsikan sang atasan sebagai orang yang memikirkan dan memperjuangkan kepentingan bawahan juga.
Dalam hal ini menjadi Atasan ada berbagai macam cara :
1. Instant ;
Karena memang dibutuhkan seorang atasan dan anda masuk ke posisi atau lingkungan tersebut secara instant karena melamar pekerjaan tersebut.
2. Referensi ;
Anda mempunyai rekan kerja dalam satu kantor atau lain dalam hal ada koneksi dan dipandang oleh mereka anda mampu. Maka anda direferensikan kantor atau tempat kerja yang lain untuk anda pimpin.
3. Promosi ;
Hal yang ketiga inilah yang paling hebat dimana kinerja kita di pandang baik sehingga dipromosikan menjadi seorang atasan, dalam lingkungan kerja tersebut.
Karena hal inilah yang menjadikan seorang pemimpin atau atasan yang menjadi sangat baik, dimana pernah mengalami sebagi seorang bawahan yang tentunya paham sekali seluk beluk kemelut bawahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar